Rabu, 19 Agustus 2009

KRISIS, PERUBAHAN IKLIM & TAMBANG

Kedung Ombo tak akan pernah dilupakan orang. Pada tahun 1985,
bendungan raksasa di Jawa Tengah

ini menenggelamkan 37 desa di 3 kabupaten, serta menggusur lahan dan
tempat tinggal 5.268

keluarga.

Proyek dukungan dana Bank Dunia dan Bank Exim Jepang ini, awalnya
diharapkan memicu pertumbuhan

ekonomi Jawa Tengah. Waduk akan mengairi 63 ribu ha sawah dan
Pembangkit Listrik Tenaga Airnya

akan berkekuatan 22,5 mega watt1.

Setelah Kedung Ombo, ada setengah lusin lebih bendungan skala besar
dibangun di Jawa Tengah. Apa

kabar waduk-waduk itu?

Kedung Ombo, meleset dari perkiraan. Tahun ini, ia hanya menampung 40%
dari 500 juta meter kubik

air yang diperkirakan. Hujan buatan sebulan penuh di sepanjang DAS
Serang dan Uter, gagal

memulihkan fungsi sang waduk.

Waduk lainnya, tak berbeda. Gajah Mungkur, hanya 25% air yang mampu
disimpannya. Enam waduk

lainnya2 hanya mampu menyimpan air setengah dari yang diperkirakan.

Rupanya nasib waduk-waduk itu, berhubungan dengan kondisi kawasan
tangkapan airnya, kawasan

gunung, pegunungan, perbukitan dan daerah Aliran Sugai di atasnya.
Hampir seluruh pegunungan Jawa

Tengah, disulap menjadi kawasan perhotelan dan pariwisata. Sebagian
lainnya gundul dijarah. Kondisi

tersebut memicu kekeringan dan kebakaran saat kemarau datang.

Sumber-sumber air, setali tiga uang. Privatisasi menjamur, menguasai
sumber air publik. Pemiliknya

beragam, mulai Perusahaan Daerah Air Minum, air minum kemasan, wisata
pemancingan, agro industri

hingga waduk.

Apa akibatnya? Kekeringan dan kelangkaan air. Hingga tahun 2004,
kekeringan dan kelangkaan meliputi

7 kabupaten di Jawa Tengah, sisanya menyusul tiga tahun kemudian.
Biaya hidup tambah mahal, sejak

air menjadi langka dan harus dibeli. Warga terpaksa mengeluarkan Rp
1.000 untuk membeli 20 liter air,

atau membuat sumur pantek. Air irigasi pun harus dibeli seharga Rp 30
ribu hingga Rp 50.000.

Kedung Ombo menggambarkan pilihan-pilihan pembangunan, mulai dari
kawasan atas hingga di

bawahnya, yang hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi semata.

Potret itu tak hanya milik Jawa Tengah. Potret yang sama dengan wajah
krisis berbeda terjadi di

seluruh kepulauan negeri ini. Gagal panen karena serangan belalang di
Kalimantan Barat, busung lapar

di Nusa Tenggara, ikan hilang karena laut tercemar di Teluk Buyat,
Sulawesi Utara, ribuan ha lahan

tenggelam dan puluhan ribu pengungsi akibat banjir lumpur panas
Lapindo di Jawa Timur, dan tak

terhitung lainnya.

Itulah hasil pilihan-pilihan pembangunan sepanjang 40 tahun terakhir,
dengan titik berat pertumbuhan

ekonomi, yang diyakini pemerintah meningkatkan kesejahteran warga
negara.

Alih-alih kesejahteraan. Keselamatan dan produktivitas wargalah yang
terancam. Kemampuan layanan

alam pun turun drastis, ditandai banjir, kekeringan dan krisis energi
di berbagai tempat.

Kemiskinan di Indonesia terus naik. Di akhir 2006, jumlahnya meningkat
dari 15,5 % menjadi 17,5%. Itu

belum menggambarkan tingkat kemiskinan sesungguhnya. Dimana jutaan
keluarga dinyatakan miskin

dan layak menjadi penerima Bantuan Langsung Tunai pengganti subsidi
BBM (BLT). Di ibu kota negara

saja, lebih dari 200 ribu keluarga menerima BLT, belum lagi propinsi
lainnya.

1 Factsheet Perubahan Iklim, 2007, Walhi Jateng.

2 Waduk Malahayu Brebes, Waduk Cacaban Slawi tegal, Rawapening
Ungaran, Waduk Sempor Kebumen, Waduk Wadaslintang

Wonosobo dan Waduk Mrica Banjarnegara. 6 waduk yang lain seperti yang
mestinya mampu menyimpan air sampai 1,2 juta

meter kubik toh hanya mampu menyediakan 601.000 meter kubik.

Angka pengangguran tercatat lebih dari 10 juta orang, sementara 5 juta
lainnya dinyatakan setengah

menganggur3. Ini juga bukan gambaran sesungguhnya. Dimana urbanisasi
terus meningkat, PHK massal

terus terjadi, sektor informal terus tumbuh. Petani-petani gurem di
Jawa, Nusa Tenggara, dan

Kalimantan, harus mencari pendapatan tambahan dengan menjadi buruh
kasar di kota saat lewat

musim tanam4.

Sayang, potret-potret itu tak membuat pemerintah tergerak, melakukan
penyelamatan. Lobby dan

pertemuan besar, rajin diadakan di kota-kota besar, guna menggalang
investasi dan proyek-proyek

eksploitasi skala besar, yang rakus lahan, air dan boros energi.
Proyek-proyek ini akan menyediakan

bahan mentah hingga setengah jadi, dari penebangan kayu, perkebunan
hingga tambang skala besar,

untuk bahan ekspor. Proyek-proyek gigantic ini, memicu perusakan hutan
dan degradasi lingkungan.

Sumber energi, migas dan batubara, tak luput dijual besar-besaran.

Utang pun tak segan dipakai membiayai proyek-proyek tersebut. Utang
memiliki peran cukup besar.

Letter of Intent utang pemerintah dengan IMF salah satunya. Perjanjian
ini mewajibkan Indonesia

manaikkan pendapatan lewat ekspor dan mengurangi pajak, terutama hasil
hutan dan mineral5. Hal ini

berakibat naiknya eksploitasi sumber daya alam, terutama penebangan
kayu, perluasan kebun sawit

dan pengerukan bahan tambang. Di kesempatan lain, utang juga digunakan
membiayai penyusunan

peraturan yang mendorong liberalisasi dan privatisasi sektor publik.
Ini akan berimplikasi pada

pemotongan subsidi publik, misalnya subsidi energi.6

Laporan UNICEF memperkuat itu. Menurutnya, berbagai program
penyesuaian struktural Bank Dunia

dan IMF, bertanggung jawab atas menurunnya tingkat kesehatan, gizi,
dan pendidikan puluhan juta

anak di dunia ketiga. Di Indonesia, hal itu menyebabkan bertumpuknya
utang luar negeri. Tujuh tahun

lalu, utang mencapai US $ 150,1 milyar. Dalam 10 tahun terakhir, 25%
hasil ekspor Indonesia digunakan

untuk bayar utang. Akhirnya, sejumlah 20% hingga 30% biaya APBN,
dipakai membayar cicilan dan

bunga utang yang mencapai 150 trilyun rupiah per tahun.

Belum lagi “biaya-biaya pembangunan” di atas diurus pemerintah,
masalah terkait datang. Namanya,

perubahan iklim.

a. Krisis Perubahan Iklim

Perubahan iklim bukan masalah baru, ia adalah “biaya” lain model
pembangunan global, yang

bertumpu pertumbuhan ekonomi.

Sejak revolusi industri tahun 1870-an, penggunaan bahan bakar fosil
(minyak, gas dan batubara) di

negara maju, macam Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropa,
meningkat pesat. Lantas,

mereka meluaskan pengerukan sumber bahan mentahnya ke negara-negara
jajahannya di belahan bumi

selatan. Mengangkutnya untuk bahan industri. Industrialisasi,
pengerukan bahan mentah dan

pengerahan teknologi, mesin-mesin, serta penggunaan bahan bakar fosil,
membuat perekonomian

negara-negara utara meningkat pesat dan stabil. Mereka jauh lebih
sejahtera dari kita.

Sayang, terjadi sebaliknya di negara selatan, termasuk Indonesia. Kita
harus pontang-panting mengejar

ketinggalan agar disebut maju. Berbagai resep pembangunan yang
disarankan agen-agen pembangunan

negara maju, mereka terapkan. Dalam 40 tahun terakhir misalnya,
Indonesia menjadi ajang percobaan

resep-resep pembangunan yang mengarah pertumbuhan ekonomi semata,
melalui eksportasi bahan

mentah dan setengah jadi ke negara maju, dibiayai oleh utang dan
beroperasi di tangan rejim otoriter

dan korup7.

3 Depnakertrans, 2007

4 Kertas Posisi Civil Society Forum Indonesia On Climate Justice, 2007

5 Koalisi Anti Utang, 2007

6 Bank Dunia misalnya mendesak untuk meliberalisasi pengelolaan sumber
daya air lewat utang sebesar US$ 300 juta untuk

program Water Resources Structural Adjustment Loan (WATSAL).

7 Kertas Posisi Civil Society Forum Indonesia On Climate Justice, 2007

Apa ongkosnya buat kita? Kerusakan alam yang luar biasa, penyingkiran
dan pemiskinan warga,

memadatnya penduduk miskin di perkotaan tanpa terkendali, pencemaran
lingkungan. Itu semua,

menimbulkan kerentanan tinggi terhadap kejadian bencana alam,
lingkungan, maupun sosial.

Ongkos lainnya masih ada. Namanya pemanasan global, penyebab naiknya
suhu permukaan bumi.

Dampaknya dirasakan tak hanya oleh Indonesia, tapi seluruh dunia.

Bagaimana pemanasan gobal terjadi? Adalah Gas Rumah Kaca (GRK), yang
terdiri dari karbondioksida

(CO2), Dinitro Oksida (N2O), Metana (CH4), Sulfur Heksa Florida (SF6),
Perfloro Karbon (PFCs) dan

Hidro Floro Karbon (HFCs), yang menjadi biang keroknya. GRK ini mampu
menyerap panas matahari dan

menyekapnya di atmosfer bumi. Semakin banyak jumlah gas rumah kaca di
atmosfer, semakin banyak

panas matahari terperangkap di permukaan bumi. Akibatnya suhu bumi
semakin panas8. Inilah yang

disebut efek rumah kaca, pemicu pemanasan global.

Gas Karbon Dioksida, Dinitro Oksida dan Metana utamanya berasal dari
pembakaran bahan bakar fosil di

sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana juga dihasilkan
dari kegiatan pertanian dan

peternakan. Sementara untuk tiga jenis terakhir, Sulfur Heksaflorida,
Perflorokarbon Dan

Hidroflorokarbon dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan
aerosol 9.

Pemanasa Global terjadi karena ketidakadilan penggunaan alokasi sumber
daya alam. Negara maju

dengan jumlah penduduk lebih sedikit, untuk mencapai kesejahteraannya
sekarang – telah

mengkonsumsi bahan bakar energi paling tinggi dan menghasilkan GRK
paling banyak.

Penduduk Amerika, Kanada, dan Eropa - yang hanya 20,1 persen dari
total warga dunia adalah

penghasil GRK terbesar di dunia. Mereka menggunakan 59,1 persen energi
dunia. Tiap warga AS

menghabiskan energi 8 kali lebih tinggi dibanding di negara
berkembang. Mereka menjadi pemasok

utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK). AS, Rusia dan Jepang, bersama-sama
tujuh tahun lalu

menyumbang 62% GRK10.

Pemanasan Global memicu terjadinya perubahan iklim. Iklim menjadi tak
menentu.

Apa Dampaknya?

Perubahan iklim berdampak serius pada kehidupan ratusan juta warga di
bumi. Jika tak ada tindakan

serius menurunkan GRK, maka masalah serius yang tak pernah
terbayangkan dan terjadi sebelumnya

akan datang. Ratusan pakar dalam Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC), bulan April lalu

menyampaikan bahaya naiknya suhu permukaan bumi lima tahun mendatang.

Apa dampak lanjutannya? Kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya
daerah pesisir, lenyapnya

spesies, banjir, dan kekeringan. Asia terkena dampak paling parah,
produksi pertanian Cina dan

Bangladesh anjlok 30 persen, India langka air, dan 100 juta rumah
warga pesisir tergenang.

Buruk bagi Indonesia. Negeri yang meliputi 17.000 ribu pulau, dimana
60% penduduknya hidup di

kawasan pesisir. Letak di garis khatulistiwa, menjadikannya korban
utama jika terjadi kekacauan iklim.

Pun secara geo-politik, ia berada di tengah-tengah jalur perdagangan,
sekaligus kompetisi kekuatan

ekonomi, juga peperangan ideologi dan kuasa di Asia Timur dan Pasifik
Barat.

Pada 2030, permukaan laut akan meningkat 8 hingga 29 sentimeter. Di
Indonesia, sekitar 2.000 pulau

akan tenggelam, garis pantai mundur ratusan meter ke arah daratan,
jutaan hektar tambak lenyap, dan

air makin langka. Krisis air bersih kota-kota besar dan pesisir
meningkat akan kekurangan air bersih.

Pada sejumlah daerah aliran sungai akan terjadi perbedaan tingkat air
pasang dan surut kian tajam.

Akibatnya, akan sering terjadi banjir, sekaligus kekeringan yang
mencekik kehidupan 11.

8 Proses ini dikenal kemudian dengan nama efek rumah kaca, pemicu
pemanasan global.

9 www.pelangi.or.id

10 Perubahan Iklim dan Pohon Uang, Koran Tempo, 25 April 2006

11 Perubahan Iklim dan HAM, Kompas, 21 November 2007

b. Tukar Guling & Dagang Karbon

Sejak 2 dekade lalu, ilmuwan memperingatkan tentang bahaya perubahan
iklim, dengan saran

pengurangan emisi karbon oleh negara maju. Tapi banyak dari negara
tersebut menolaknya. Setelah

perjalanan panjang, pada tahun 1997, Protokol Kyoto ditandatangani.
Amerika Serikat dan Australia

menolak bergabung dengan protokol ini. Protokol ini menyepakati negara-
negara industri harus

mengurangi emisi GRK-nya hingga rata-rata 5,2 persen dari tingkat
emisi tahun 1990 pada periode

tahun 2008-201212.

Itu berarti harus memangkas penggunaan bahan bakar fosil, menurunkan
produksi, pengurangan

pendapatan dan pengurangan gaya hidup konsumtif. Negara-negara maju
tak menyukainya.

Alih-alih mengurangi emisi GRK-nya, mereka malah menggeser komitmen
tersebut menjadi skema tukar

guling perdagangan karbon dengan bantuan keuangan dan teknologi.
Solusi itu bernama Clean

Development Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI) dan Emission
Trading (ET). Berikut

penjelasannya.

Clean Development Mechanisme (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah win-
win solution antara

negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di
negara berkembang dalam

proyek yang dapat megurangi emisi GRK, dengan imbalan sertifikat
pengurangan emisi (CER) bagi

negara maju tersebut.

Joint Implementation (Implementasi Bersama), merupakan kerja sama
antar negara maju untuk

mengurangi emisi GRK mereka. Proyek-proyek ini dilaksanakan di negara-
negara dengan target reduksi.

Contohnya, program efisiensi energi di Polandia yang didanai oleh
perusahaan Inggris. Tampaknya,

proyek-proyek JI akan banyak dilakukan di Eropa Timur dan Rusia,
dimana bisa dilakukan penurunan

karbon yang setara dengan komitmen, berbiaya lebih murah dan tentu
saja peraturan yang lebih

lemah.

Emission Trading (Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar
negara maju. Idenya, polutan

(zat pencemar) dapat dipertukarkan. Efeknya, satu upaya penurunan
emisi gas rumah kaca (misalnya

karbon dioksida) memungkinkan pencemar mengklaim pengurangan gas rumah
kaca lain (misalnya

metan). Layanan perdagangan emisi ini kompleks dan membingungkan.

Baik proyek-proyek CDM dan JI dapat berbeda-beda bentuk; mulai dari
perkebunan monokultur skala

besar, yang katanya dapat menyerap karbon dari atmosfer (carbon
sinks); proyek-proyek energi

terbarukan, pemutakhiran pembangkit energi yang sudah ada; nuklir dll.
Jumlah kredit yang didapat

dari masing-masing proyek dihitung berdasarkan penurunan emisi yang
dapat diciptakan, dibandingkan

dengan emisi yang mungkin terjadi di masa datang jika proyek tidak
dilaksanakan.

Dengan menggunakan imajinasi atas polusi jika proyek tidak dilakukan,
perusahaan pencemar dapat

membuat perkiraan polusi yang luar biasa besar jika tidak ada proyek
CDM atau JI. Dalam tipu muslihat

ini, membolehkan jumlah kredit polusi yang tinggi, yang dapat
didapatkan dari setiap proyek.

Perusahaan dibolehkan membuat polusi di wilayah lain, menjual
kreditnya pada pencemar lain, atau

mengkombinasikan dua taktik menguntungkan ini.

Itulah solusinya. Dengan cara tersebut, sudah bisa dipastikan hasilnya
dalam jangka panjang, (1) emisi

gas rumah kaca yang terus membesar dan (2) meningkatnya keuntungan
perusahaan dari produksi

mereka.

Itu hasil transaksi antar negara-negara utara, yang mendominasi PBB,
untuk memanipulasi kewajiban

penurunan emisi GRK mereka. Kewajiban berubah menjadi skema dagang dan
bantuan. Karenanya,

jangan heran jika dalam Protokol Kyoto, dibagilah negara-negara dalam
dua kelompok. Pertama,

kelompok negara yang bertanggung jawab, daftar negara dengan GRK
tinggi, masuk daftar Annex atau

Annexed Countries. Kedua, negara non-Annexed, negara dengan GRK kecil,
yang akan menerima

bantuan keuangan dan teknologi, mengantikan tanggung jawab penurunan
emisi oleh negara utara,

sang “raksasa pencemar”.

12 Amerika Serikat dan Ketidakadilan Energi, Kompas 25 Oktober 2007

Box 1. Dari Gedung Putih ke Protokol Kyoto

Sejak perdebatan penipisan lapisan ozon di akhir 1980-an, yang memicu
peningkatan suhu bumi,

negara-negara utara, khususnya AS, telah mulai menyiapkan jawabannya,
tanpa perlu menurunkan

GRK-nya.

Clean Development Facility (CDF), adalah model awal tukar guling yang
diterapkan AS sejak lama, jauh

sebelum UNFCC atau Kebijakan Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan
Klimatik (UNFCCC), lahir.

Mereka menggandeng Brazil, melalui penanaman Eucalyptus dan tebu untuk
memproduksi ethanol.

Juga model joint implementation dengan Jepang.

Perangkat solusi yang ditawarkan Protokol Kyoto tak beda yang diusung
AS. Apa itu? Clean Development

Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI) dan Emission Trading (ET).

Bahkan bekas Sekjen UNFCCC, Michael Z Cutajar, pernah mengatakan bahwa
Protokol Kyoto adalah

‘made in USA.’ Proses panjang pengorganisasian politik, hukum dan
teknik telah dilakukan, didukung

para pebisnisnya. Jangan heran kalau para proponen dagang arang dari
AS sudah lama terorganisir

secara politik sehingga mampu menggolkan skema mereka ke dalam sistem
dan bahasa di Perserikatan

Bangsa-Bangsa. Lahirlah Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan
Klimatik (IPCC) pada tahun 1992.

Dalam 10 tahun terakhir, usia Protokol Kyoto — instrumen kebijakan
Konvensi Kerangka PBB tentang

Perubahan Klimatik (UNFCCC)— telah memberikan jalan keluar bagi
kapital keuangan dan industri,

khususnya di negara industri maju (rombongan negara Annex1) untuk
mempertahankan tingkat emisi

karbonnya dengan ongkos kompensasi semurah-murahnya. Namun, target
Protokol Kyoto sendiri jauh

lebih kecil daripada kebutuhan reduksi emisi menurut pertimbangan
Panel Antar Pemerintah untuk

Perubahan Klimatik (IPCC).

Dua dari tiga mekanisme luwes dalam protokol yang paling dielu-elukan
penguasa keuangan global

adalah jual beli hak emisi karbon dan "mekanisme pembangunan bersih"
yang secara khusus mengatur

moda transaksi negara Annex1 dengan non- Annex1 untuk mereduksi emisi.

Ini telah menghasilkan rapor kontradiktif. Pertumbuhan pesat volume
stok "reduksi emisi bersertifikasi"

(CER) diperkirakan mencapai 1 miliar unit pada 2012. Akhir masa
komitmen pertama atas Protokol

Kyoto dihadapkan pada hasil pengamatan bahwa besaran emisi karbon
global melonjak lebih pesat dari

masa pasca 1990, khususnya sejak tahun 2000. Misalnya, mencairnya es
musim panas di lingkaran

Arctic, khususnya 2005-2007, yang ternyata 30 tahun lebih awal dari
taksiran IPCC13.

Di sini nyata sekali ketidaksungguhan politik rombongan negara Annex1
untuk patuh pada isi konvensi

yang tegas-tegas mengharuskan mereka mendanai negara berkembang untuk
melakukan adaptasi dan

mitigasi.

Sejak 1994, baru sekarang kata kerja "adaptasi" terhadap pemanasan
bumi dan segala dampaknya

dipertimbangkan sejajar dengan "mitigasi". Itupun masih tanpa
kesediaan pendanaan tanpa syarat dari

rombongan negara Annex1. Di "Selatan", warga yang hidup dalam dan dari
sisa hutan tropis masih terus

mencoba menghambat perluasan pembalakan dan perkebunan tanaman ekspor
yang langsung

mengancam keragaman hayati dan nafkah setempat. Bagaimana nanti ketika
bencana mengetuk? Kita

butuh sebuah kerangka politik industri dan keuangan yang mampu
mengendalikan perluasan ekonomik,

sekaligus memulihkan kerusakan sosial dan ekologis di Tanah Air.
Akumulasi kapital rendah karbon saja

takkan pernah cukup untuk menahan apalagi membalik proses disintegrasi
sosial ekologis sekarang.

Ternyata tukar guling tak cukup. Negara utara dan lembaga keuangan
internasional tak puas dengan

pembedaan itu. Mereka mau meluaskan kewajiban penurunan emisi kepada
negara selatan. Lebih jauh

lagi, mereka ingin memperoleh laba sebesar-besarnya dari skema dagang
karbon.

Apa pintu masuknya, jika perkaranya adalah menurunkan karbon dari
bahan bakar fosil? Jawabnya

adalah karbon hutan. Hutan diyakini mampu menyerap karbon (karbon
sink), dan negara selatan punya

modal besar: hutannya luas, kemampuan serapannya tinggi.

13 Soal Karbon atau Sosial Ekologis, Kompas, 19 November 2007

Tahun 1999, negara utara keluar dengan usulan “LULUCF” atau Land Use &
Land Use Change in Forest.

Mereka memasukkan perubahan tata guna lahan di hutan sebagai sumber
karbon dan penyerap karbon

di atmosfir. Sayang, angka emisi karbon dari perubahan tata-guna lahan
di hutan tidak terlalu berarti,

hanya 10% hingga 20%. LULUCF akhirnya tidak dipakai. Lantas keluarlah
usulan tambahan:

memasukkan deforestasi dan kebakaran hutan sebagai sumber emisi
karbon. Dikenal dengan LULUCF

Plus.

Inilah akal-akalannya, emisi dari karbon fosil disetarakan dengan
karbon hutan. Padahal jelas beda sifat

dan prosesnya. Karbon dari hutan siklusya langsung berhubungan dengan
atmosfir, sementara karbon

dari energi fosil tersekap dalam tanah, terbentuk jutaan tahun
lamanya. Jika ia digali dan terlepas

emisinya ke atmosfir, akan memberikan tambahan karbon baru yang semula
tersekap dalam perut

bumi. Sifatnya permanen. Tak bisa dipertukarkan dengan karbon dari
hutan14.

Dan hasilnya luar biasa. Dengan pendekatan LULUCF Plus ini, emisi dari
kebakaran hutan15 membuat

Indonesia naik peringkatnya menjadi pencemar nomer tiga, setelah
Amerika Serikat dan China.

Mau tak mau, sebagai penandatangan Protokol Kyoto, Indonesia harus
mengambil tindakan mengurangi

kebakaran hutannya. Dan ini tentunya butuh biaya dan komitmen serius
termasuk pemberantaan

korupsi dan lainnya.

Dengan skema tukar guling di atas, emisi GRK tak akan banyak berubah.
Dampak perubahan iklim di

depan mata.

Upah Menjaga Hutan?

Negara-negara yang memiliki hutan luas , Brazil, Papua Nugini dan
Costa Rica mengusulkan konsep yang

berfokus pada fungsi hutan sebagai penyerap (carbon sink, saat
dipertahankan) dan pelepas karbon

(carbon release, ketika ditebang). Skema baru ini bernama REDD atau
Reducing Emission from

Deforestation and Degradation. Skema ini mulai dibicarakan pada COP 12
di Nairobi, akan

dimatangkan di Bali.

REDD diharapkan menjembatani CDM dan penanganan deforestasi. Ini cara
tukar guling yang lain.

REDD menawarkan skema retaining atau menahan karbon keluar. Negara
selatan akan menawarkan

“jasanya” untuk mengurangi penggundulan hutannya, atau pun menjual
kemampuan serap karbon yang

dimiliki hutannya kepada Utara. Harapannya, emisi dari deforestasi
hutan hujan tropis menyumbang 20

persen total emisi karbon di atmosfer, berkurang.

Apa bahayanya? REDD mempersempit hutan seolah hanya tegakan pohon
penyerap karbon (carbon

sinks). Lupakan fungsi hutan sebagai kawasan tangkapan air, atau pun
keragaman hayati, apalagi

sebagai wilayah kelola warga. REDD mereduksi semua fungsi tersebut. Ia
menawarkan negara-negara

yang memiliki hutan, menjaga bahkan lebih jauh mengunci kawasan
hutannya (land locking) dengan

imbalan "dana santunan"16.

Tawaran ini beresiko membatasi akses penduduk lokal terhadap hutan,
setelah hutan berubah menjadi

barang yang dimiliki secara global. Sebagai barang dagangan, hutan
yang berkonflik dengan warga –

tetapi masuk skema REDD, beresiko diabaikan penyelesaian konfliknya

Emil Salim, sebagai Ketua Tim Indonesia untuk Konvensi Perubahan
Iklim, menyampaikan Indonesia

mengusung REDD.

Anehnya, dikala menyampaikan komitmennya terhadap hutan Indonesia,
saat yang sama pemerintah

mempermudah pengusaha tambang untuk membuka hutan lindung menjadi
kawasan pertambangan.

Menteri Kehutanan, akhir bulan lalu menyampaikan kemungkinan mengganti
kompensasi ijin pinjam

pakai hutan, dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehinga
mempermudah alih fungsi

kawasan hutan lindung menjadi pertambangan.

14 FERN Brifieng Note, 2005, Carbon ‘Offset’ – No Magic Solution To
Neutralize Fossil Fuels Emissions

15 Data WALHI menyebutkan angka 24 juta ha lebih hutan yang terbakar
pada 289 ribu hot spot sejak tahun 1997 – 2006

16 Mari Bicara REDD, Kompas, 20 November 2007

c. Industri Tambang & Perubahan Iklim

Pertambangan berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim, baik
tambang migas dan batubara

adalah industri yang membongkar simpanan karbon dalam perut bumi,
mengolahnya hingga bisa

dikonsumsi sebagai bahan bakar dan melepas emisi karbonnya ke
atmosfir. Industri tambang adalah

media sekaligus pengguna bahan bakar energi fosil. Sekitar 10% energi
dunia, dipakai oleh industri

pertambangan.

Emisi GRK dari industri tambang dimulai dari kegiatan alih fungsi dan
degradasi lahan, akibat penggalian

bahan tambang dan pembangunan fasilitas pabrik, penggunaan bahan bakar
dalam proses

penambangan, pembakaran energi saat proses penambangan – seperti gas
flare.

Sementara dari kegiatan hilir, emisi GRK dimulai dari distribusi hasil
tambang dan konsumsinya sebagai

energi, baik minyak, gas dan batubara. Penggunaan bahan bakar untuk
transportasi dan industri

penyumbang emisi GRK tertinggi.

Jangan lupa, proyek-proyek pengerukan bahan tambang dan bahan bakar
fosil ini juga disponsori oleh

badan-badan keuangan dunia melalui skema utang. Utang ini melibatkan
badan-badan pembangunan

internasional, macam Bank Dunia dan ADB, yang diberikan untuk
membiayai proyek-proyek skala besar

energi dan tambang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negara selatan,
termasuk Indonesia.

Laporan paling akhir International Financial Corporation (IFC) – 2007,
menyebutkan Bank Dunia

memberi utang sektor swasta lebih dari 645 juta dolar kepada
perusahaan minyak dan gas bumi,

meningkat 60% dibanding tahun sebelumnya. Komitmen Bank Dunia
membiayai perusahaan swasta

sektor energi juga meningkat dari 2,8 menjadi 4,4 miliar. Porsi
terbesar diberikan untuk migas dan

pembangkit listrik, sementara energi terbarukan menempati porsi
terkecil.

Inilah ironisnya. Bank Dunia terus membiayai pengerukan hidro karbon,
melalui perusahaan tambang

batubara dan migas. Di lain pihak mengakui bahayanya perubahan iklim,
dimana sebagain besar dipicu

oleh emisi GRK akibat penggunaan bahan bakar energi fosil.

Dunia sebenarnya tak pernah serius mengurus resiko perubahan iklim.
Negara kaya bahan tambang,

Indonesia misalnya, terus meningkatkan produksi batubaranya, khususnya
melalui perusahaan–

perusahaan tambang asing yang mendapatkan kemudahan perijinan, bahkan
dengan membuka

tambangnya di kawasan hutan. Indonesia meningkatkan devisanya, sejak
empat dekade lalu melakukan

pengerukan besar-besaran bahan tambangnya, mulai emas, nikel, juga
migas dan batubara. Pengerukan

ini sebagain besar melayani kebutuhan negara-negara utara.

Tambang batubara di Kalimantan Selatan misalnya, sejumlah 70% dari
produksi batubara yang

mencapai 100 juta ton per tahun, diekspor melayani 14 negara.
Sementara 29 persennya digunakan

untuk kebutuhan domestik Jawa dan Sumatera. Hanya 1% yang digunakan
untuk dua pembangkit listrik

di Kalimantan Selatan.

Kawasan-kawasan keruk di Indonesia, serupa Kalimantan Selatan,
mengalami masalah serius perusakan

lingkungan, konflik sosial bahkan peningkatan angka kemiskinan. Mereka
kehilangan lahan, hingga

mengalami gangguan kesehatan akibat lingkungan yang tercemar.

Dan kini, mereka harus berhadapan dengan musim yang tidak menentu,
baik untuk menanam padi di

sawah atau pun menangkap ikan di laut. Warga-warga korban sekitar
pertambangan inilah, yang akan

menjadi salah satu korban paling rentan dampak perubahan iklim.
Seperti warga korban pembangunan

lainnya.

Disamping itu, akibat eksploitasi dan ekspor besar-besaran minyak, gas
dan batubara sejak 4 dekade

lalu, telah memicu krisis energi. Kontrak-kontrak jangka panjang
ekspor migas dan batubara, yang

dibuat Indonesia dengan negara lain, membuat pengurus negeri tak
berkutik, saat kebutuhan energi

domestik naik dan harga minyak dunia meroket, berakibat angka APBN
defisit.

Pemerintah akhirnya memilih memangkas subsidi Bahan Bakar Minyak
(BBM), dengan menaikkan harga

minyak hingga dua kali pada dua tahun lalu. Apa akibatnya? Saat itu,
terjadi indikasi kuat pemiskinan

masif yang terjadi di berbagai pelosok Indonesia. Diantaranya,
tutupnya 140 dari 220 Usaha Kecil

Menengah (UKM) di Majalaya, Jawa Barat, juga pabrik-pabrik keramik di
Gresik yang merumahkan

karyawannya, hingga 77 perusahaan tekstil dan produk tekstil berhenti
operasi di Jawa Bali

mengakibatkan 20.000 orang kehilangan pekerjaan.

Seperti uraian sebelumnya, kelompok-kelompok miskin, korban
pembangunan inilah, yang rentan

terhadap perubahan iklim.

Ekspansi ke hutan Lindung

Tak hanya kontribusinya terhadap degradasi lahan. Kini industri
tambang memperluas ekspansinya ke

lahan-lahan hutan lindung dan konservasi. Kawasan hutan yang memiliki
fungsi penyangga kehidupan,

yang juga ditawarkan sebagai alat tukar guling penurunan emisi karbon.

Itu tercetus dalam rencana pemerintah mengganti kompensasi ijin pinjam
pakai hutan, dengan

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)17. Hanya dengan alasan banyaknya
investasi tambang yang akan

masuk, pemerintahan SBY sepakat mengabaikan fungsi hutan lindung, dan
membuka kawasan hutan

lebar-lebar untuk tambang.

Padahal, publik telah memperkarakan UU No 19 tahun 2004 yang
mengamandemen pasal 38 UU No.

41/1999 UU Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi18, mereka meminta UU
tersebut dibatalkan. UU

tersebut memungkinkan sejuta hektar hutan lindung diubah menjadi
kawasan pertambangan.

Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) tidak membatalkan UU tersebut, tapi
keputusan ini memberikan

preseden, setelah kasus ini tak boleh lagi ada tambang di hutan
lindung.

Sayang, Menteri Kehutanan kita tampak hilang ingatan, bahkan
menjanjikan kemudahan dalam

mengalih fungsi hutan lindung menjadi kawasan pertambangan. Padahal,
putusan MK tanggal 7 Juli

2005 itu, juga memandatkan dibuatnya peraturan lebih ketat, untuk
memastikan pertambangan

terbuka tidak menimbulkan dampak besar bagi lingkungan dan rakyat.

Sayang, setelah ditekan dan diloby pelaku tambang dan sejawatnya di
kabinet, MS Kaban – sang

menteri melunak. Kebijakan tukar guling kawasan hutan lindung yang
akan ditambang dengan lahan

pengganti dua kali lipat, akan diganti Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP).

Yang lebih parah, SBY pura-pura lupa hutan Indonesia dalam kondisi
kritis, dengan angka deforestasi

tertinggi di dunia, 2 juta ha per tahun. Menteri hingga para
bupatinya, dibiarkan mengeluarkan ratusan

perijinan baru batubara dan mineral, banyak dari perijinan tersebut
tumpang tindih dengan hutan

lindung.

Di saat yang sama, Indonesia berkomitmen mendukung berbagai upaya yang
dilakukan untuk mengatasi

dampak perubahan iklim, lewat pengurangan emisi dari perusakan dan
degradasi hutan.

Ironisnya, komitmen tersebut tak bergigi jika berhadapan dengan
perusahaan tambang. Rencana

keluarnya PNBP salah satu buktinya.

Padahal, hanya dari 13 perusahaan tambang yang lolos lewat UU No.
19/2004 saja, berpotensi melepas

karbon sebesar 185 – 251 juta ton. Bayangkan berapa tambahan emisi
karbon ke atmosfir, jika

persyaratan mengubah hutan lindung diperlunak. Hingga tahun 2001, ada
158 ijin pertambangan skala

besar yang berpotensi membuka 11,4 juta ha hutan lindung dari 32 juta
ha hutan lindung tersisa.

Sikap dan komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon ke
atmosfer semestinya dijalankan

konsisten, dengan menghentikan alih fungsi lahan hutan tanpa pandang
bulu. Sektor pertambangan

adalah sektor yang juga berkontribusi besar terhadap hilangnya hutan
dan lepasnya emisi karbon.

Tanpa menunjukkan sikap yang tegas terhadap penghentian pertambangan
di hutan lindung, Indonesia

akan semakin kehilangan muka di mata dunia. Indonesia akan dipandang
sebagai negeri mata duitan

yang hanya mementingkan aliran dana tanpa kejelasan komitmen.

17 Koran Tempo, 31 Oktober 2007

18 Siaran Pers, 21 November 2007, Komitmen Pemerintah Terhadap
Perubahan Iklim Patut Diragukan

Apa yang berubah?

Tak disangkal lagi, tanda-tanda perubahan iklim telah dirasakan di
banyak tempat. Korban yang paling

rentan pastilah kelompok-kelompok miskin, minoritas dan terpinggirkan.
Mereka sulit mengakses

sumber kekayaan alam, maupun fasilitas publik. Sayangnya kelompok ini
seolah jauh dari hiruk pikuk

pembicaraan perubahan iklim.

Tak ada pengakuan global bahwa perubahan iklim adalah potret gagalnya
model pembangunan global

yang menekankan pada percepatan pertumbuhan ekonomi. Itulah mengapa
dalam urusan penanganan

iklim, tak pernah memasukkan isu restrukturisasi utang. Bagaimana
Indonesia bisa mengurus dampak

perubahan iklim, jika 20 -30% dana APBNnya dipakai untuk membayar
bunga utang setiap tahunnya.

Lebih jauh, jawaban-jawaban terhadap permasalahan perubahan iklim
bagai jauh panggang dari api.

Ekstraksi bahan tambang, khususnya bakar fosil meningkat19, energi
fosil untuk transportasi dan

industri, emisi karbon naik. Sementara, kewajiban penurunan emisi
bergeser menjadi transaksi bisnis

karbon.

Iklim berubah, perilaku penguasa tidak. Bagaimana anda?

Jakarta, 24 November 2007

19 Ijin pertambangan batubara di pulau Kalimantan naik pesat sejak
otonomi daerah. Ada tiga ratusan lebih ijin baru di

Kalimantan Selatan, ratusan lainnya di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Timur.



1 komentar:

  1. lah, ini info bagus banget.. cuma kok format tulisannya aneh begini yak? apa karena browser gw ga support? mohon dicek pak

    BalasHapus